KEYWORD : Asuransi Terbaik, Asuransi Aliianz Indonesia, Asuransi Jiwa dan Kesehatan, Asuransi kesehatan terbaik, Asuransi perjalanan, Tabungan asuransi kesehatan, Asuransi jiwa terjangkau, polis asuransi jiwa murah, Investasi dalam Asuransi, Produk Asuransi Jiwa Syariah, Asuransi Bebas Rencana FWD, Asuransi Jiwa Syariah Terbaik, Daftar harga sepatu safety krusher,jual beli rumah, rumah bagus, ansuransi rumah, motor , mobil, mobil mewah, toyota , honda, credit card, kartu kredit, mercy, bmw, kanker, penyakit kanker
LIHAT HALAMAN SELANJUTNYA UNTUK LEBIH DETAIL
>> Halaman Berikutnya
Undang-Undang Politik, Undang-Undang Pemilu, dan Undang-Undang Pilkada, serta sederet produk turunannya telah berhasil “dipaksakan” oleh Amerika Serikat (AS) melalui NDI (National Demoratic Institute) pimpinan Jimmy Carter yang merancang sistem politik sangat liberal di Indonesia, bahkan lebih liberal dari ibu demokrasi, negara AS sendiri.
Begitulah politik, karena pihak asing melalui IMF dan Bank Dunia yang telah meminjamkan Rp 678 triliun untuk BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), maka mereka mendikte kita dengan 50 butir perjanjian kerjasama, yang intinya:
Pertama, Transparansi yakni buka seluas-luasnya informasi tentang aset strategis, pintu masuk kala itu melalui BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), aset pengutang BLBI disita oleh Pemerintah, dan dibeli Asing dengan harga murah; Kedua, Privatisasi yaitu aset-aset strategis dijual melalui bursa saham, maka jadilah Telkom dan Indosat dijual, sehingga ruang pribadi Megawati (Presiden RI ke-5) juga tembus satelit saat itu;
Ketiga, Deregulasi yakni revisi termasuk amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali, maka diberi peluang non-pribumi sebagai Presiden Republik Indonesia. Deregulasi juga termasuk 100-an Undang-Undang yang mengandung pasal kepentingan Asing, kemudahan dalam berinvestasi, maka sumber daya alam kita 85% dimiliki oleh pihak Asing, perbankan 71%, hutan dan perkebunan 67% juga dimiliki oleh pihak Asing.
Lebih tragis, dalam bidang politik dengan sistem pemilihan langsung Sistem pemilu dan pilkada dengan pemilihan langsung, one man one vote telah membawa kita pada budaya politik baru, yakni sistem transaksional sehingga hanya bagi yang mempunyai logistik besar saja mampu maju sebagai kepala daerah. Kaderisasi politik hancur karena sistem transaksional berbau kapitalistik. Konon minimal Rp 30–50 miliar uang yang dibutuhkan jika seseorang maju mengikuti pilkada, mulai dari biaya beli kursi parpol, riset, penggalangan, kampanye, biaya saksi, dan lainnya. Jika tidak punya uang, harus mencari “bohir”. Tentu setelah terpilih, kandidat harus mengembalikan uang bohir tersebut melalui proyek atau fasilitas terkait jabatannya. Hal ini menyebabkan korupsi semakin merebak karena politik dikelola secara korporatif. Ekses ini menghidupkan bohir yang mayoritas etnis Cina.
Begitu juga dengan pasal bahwa non-pribumi mempunyai peluang menjadi kepala daerah, bahkan Presiden RI. Maka tak heran, orang seperti Ahok, Hary Tanoesoedibjo (Perindo), Enggartiasto Lukito (Nasdem), Djan Faridz (PPP), Rusdi Kirana (PKB), merupakan nama-nama Cina yang muncul dalam partai politik Indonesia saat ini.
Jadi, etnis Cina sangat oportunistik, dan Ahok salah satu pertaruhannya. Dukungan taipan sebagai pendana Teman Ahok (walau dibantah), terlihat jelas kehadiran mereka saat demonstrasi kebhinnekaan di depan bundaran Hotel Indonesia (HI). Foto-foto kehadiran mereka menjadi viral kala itu (Desember 2016).
Politik selama ini wilayah “tabu”, namun di beberapa daerah yang banyak jumlah etnis Cina, seperti Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Utara, pemimpin etnis Cina sudah cukup banyak memenangkan Pilkada.
Semua itu karena politik Indonesia sudah menjadi oligarki, salah satu buah reformasi, khususnya setelah Setya Novanto (Setnov) menjadi Ketua Umum Golkar, sehingga Senayan (DPR) kehilangan daya kritisnya. Tercatat hanya Demokrat, PKS, dan Partai Gerindra yang di luar pemerintahan. Setnov berhasil “menjinakkan” Senayan jika Pemerintah ada keperluan di DPR. [zs]
sumber : wartaumat.com